TOKOH DAN POLITIK

TOKOH,POLITIK,KENEGARAAN,PEMERINTAHAN

Breaking

Post Top Ad

Sabtu, 14 September 2013

H Agus Salim





Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.


Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.


Latar belakang

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.


Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.




Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

Karya tulis

Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
Dari Hal Ilmu Quran
Muhammad voor en na de Hijrah
Gods Laatste Boodschap
Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang     dikompilasi koleganya, Oktober 1954)

Karya terjemahan

Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya  
Shakespeare)
Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya  
Rudyard Kipling)
Sejarah Dunia (karya E. Molt)

Karier politik

Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:

anggota Volksraad (1921-1924)
anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III
1947
pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab,
terutama Mesir pada tahun 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949

Presiden Sukarno dan Agus Salim dalam tahanan Belanda, 1949.

Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.

Maret 1947 ia diutus ke New Delhi Conference kemudian mengunjungi negara-negara Arab dengan tugas mengusahakan pengertian sedalam-dalamnya dari negara-negara Arab tentang Kemerdekaan Indonesia. Misi itu berhasil hingga negara-negara Arab menyokong RI di dalam persidangan PBB.

Waktu Belanda menduduki Yogyakarta, ia bersama-sama Presiden dan Wapres serta mentri-mentri ditangkap dan diasingkan ke Sumatra. Bersama Sutan Sjahrir, awalnya diasingkan di Brastagi kemudian dipindah ke Prapat dan akhirnya ke Bangka. Setelah pengakuan kedaulatan RI ia tidak aktif lagi dalam pemerintahan. Tahun 1953, ia memberi kuliah agama Islam di Cornell dan Princeton University di AS.

K.H. Agus Salim lebih meletakkan arti Islam sebagai pandangan hidup setiap muslim yang sadar akan tugas dan kewajibannya di tengah-tengah masyarakat bangsanya. Sebagai hasil penyelidikannya atau ijtihad yang dipeloporinya, pandangannya terhadap berbagai masalah agama bercorak tersendiri. Ia selalu berfikir tentang apa yang dilihatnya serta apa yang dialaminya.

Ia diangkat menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam Negeri di Yogyakarta. Tugas itu belum sempat dijalankannya, tanggal 4 Nopember 1954 K.H. Agus Salim meninggal dunia. Berkat jasa-jasanya ia dianugerahi Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Meski tidak sempat menjalankan tugas sebagai Guru Besar di PTIN, namun pengabdian K.H.Agus Salim sungguh lengkap untuk negri ini. Bagaimana tidak? Ia berjuang di Serikat Islam, Jepang, RI didirikan, Agresi Militer Belanda, emansipasi wanita hingga memberi kuliah saat Indonesia sudah merdeka. Tidak aneh lagi kalau namanya kini menjadi banyak dijadikan nama jalan besar di kota-kota besar di tanah air.

Post Top Ad